Kematian adalah bagian integral dari kehidupan. Martin Heidegger
dengan tepat mangatakan bahwa "When a baby was born, he or she is
old enough to die/pada saat seorang bayi dilahirkan, pada saat itu
ia cukup tua untuk mati," Artinya, siapa saja, termasuk bayi yang
baru dilahirkan, sedang menghadapi realita kematian yang dapat
datang setiap saat. Setiap orang tua maupun muda, semua sedang
berjalan menuju keujung jalan tersebut. Tak seorangpun yang dapat
menghindar dari kematian. Bahkan seringkali kehadirannya sangat
diluar dugaan, mendadak, tidak memberikan tanda-tanda maupun
kesempatan untuk mempersiapkan diri, baik bagi individu yang
bersangkutan apa lagi bagi orang-orang yang mengasihinya. Akibatnya,
kepedihan dan duka-cita yang begitu mendalam seringkali menghinggapi
orang-orang tersebut. Sebagai contoh, coba perhatikan kasus di bawah
ini.
Ibu A sepanjang sore masih sibuk menghias gedung untuk pesta
pernikahan seorang anggauta jemaat dari gerejanya. Wajahnya ceria,
karena kali ini benar-benar mengagumkan hasilnya. Semua orang
memuji-muji dia. Wah hatinya berbunga-bunga, dan ia tak dapat
menunggu tibanya hari esok dimana ribuan undangan, termasuk beberapa
orang VVIP akan hadir dalam pesta itu.
Ketika jam sudah menunjukkan pukul 21.30 malam dan pegawai-
pegawainya mulai pamitan satu persatu, ibu A mulai merasa gelisah.
Tidak biasa suaminya menjemput terlambat, apalagi sampai lebih dari
satu jam. Ia coba menghubungi handphone suaminya, tetapi yang
diterimanya terus nada panggil saja, tanpa ada yang menjawab. Mulai
dari sekedar gelisah, ibu A menjadi kuatir dan cemas. Ia coba
menghubungi semua teman dan famili yang biasanya tahu keberadaan
suaminya. Tiba-tiba pukul 22.15 handphonenya berdering dan berita
mengejutkan ia terima dari pendetanya yang baru mendapat laporan
dari seorang polisi bahwa suaminya kecelakaan dan sudah meninggal
dunia. Jenazahnya berada di rumah sakit. Dunia serasa berputar dan
tiba-tiba gelap. Ibu A baru terbangun lagi dalam mobil yang sedang
menuju rumah sakit tersebut. Perasaannya tidak keruan, antara
bingung, takut, ingin menjerit, putus asa, marah, memikirkan
kemungkinan-kemugkinan lain dan berharap belas kasihan Allah, campur
aduk. Realita kematian dari orang yang sangat dikasihinya sudah
terjadi. Tanpa pesan, tanpa tanda-tanda, dan orang yang sangat
dikasihi tersebut sudah meninggalkan dirinya untuk selama-
selamanya.
Apa yang dapat dilakukan untuk ibu A yang malang ini? Prinsip-
prinsip konseling apa yang dapat dipakai? Untuk menjawab itu,
beberapa prinsip konseling dibawah ini dapat dipertimbangkan,
yaitu:
Memahami secara umum apa yang dialami oleh ibu A.
Pengalaman seperti yang dialami oleh ibu A biasanya menghasilkan
reaksi kejiwaan yang muncul secara bertahap. Mula-mula shock yang
segera diikuti dengan numbness/kehilangan perasaan oleh karena
munculnya 1001 macam pikiran yang timbul tenggelam tanpa bisa
dikonsepkan, sehingga perasaan dan pikiran tersebut tidak menyatu.
Hadirnya begitu banyak orang pada berbagai acara kebaktian
penghiburan dan segala urusan pemakaman, semakin memperbesar gap
antara perasaan dan fikirannya. Dalam fase ini, perasaan ibu A bisa
berubah-ubah dengan cepat, kadang-kadang merasa sedih, kadang-
kadang ia tidak merasa apa-apa.
Kondisi seperti ini akan terus berlanjut sampai suaminya dimakamkan
dan semua orang tidak bersama dia lagi. Saat-saat itulah grieving
period/periode kesedihan yang sesungguhnya dialaminya. Tubuh akan
melepaskan cairan kimiawi epinephrine dari kelenjar adreanal yang
menenggelamkan dirinya dalam kesedihan yang mendalam. Sampai tiba
waktunya produksi hormonal tersebut mencapai titik maksimalnya
mungkin dua tiga minggu dan cairan hormonal norepinephrine
dilepaskan untuk mengembalikan individu tersebut kepada posisi dapat
memikirkan tanggung-jawab kehidupan secara utuh lagi. Inilah realita
hidup manusia yang dilengkapi dengan perlengkapan menyembuhkan diri
sendiri. Sehingga setiap individu yang berjiwa sehat dengan
sendirinya dapat melewati periode kesedihan dengan baik dan
beradaptasi dengan kehidupannya kembali. Apabila periode tidak
kunjung berakhir adalah tanda bahwa individu yang bersangkutan
membutuhkan pertolongan seorang psikiater.
Memahami secara khusus apa yang dialami oleh ibu A.
Pada masa shock, hilangnya perasaan dan masa-masa sedih, perasaan
dan pikiran individu yang bersangkutan bisa apa saja, termasuk
marah, kecewa, putus asa, takut, kuatir, dan sebagainya. Pada saat-
saat seperti ini, ia bisa mengajukan berbagai macam pertanyaan, dari
yang acceptable/dapat diterima sampai kepada pertanyaan-pertanyaan
yang tidak bisa diterima yang bertentangan dengan kebenaran yang
diimani. Ibu A bisa merasakan sangat kecewa dengan Tuhan bahkan
marah kepadaNya. Ia bisa merasakan Tuhan sangat kejam dan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan rhetorika yang ia jawab sendiri. Saat itu ia
berputar-putar dalam jebakan perasaan yang ia tidak mampu atasi.
Sampai tiba waktunya dimana periode kesedihan tersebut
berakhir.
Sayang sekali tidak setiap individu dapat menyelesaikan periode ini
dengan baik. Konselor perlu mengenali apa yang secara khusus dialami
oleh ibu A. Apakah ia dapat menyelesaikan masa-masa sedih dengan
baik, sehingga ia tidak memerlukan konseling sama sekali. Mungkin
juga ia ternyata terjebak dalam natur dosanya, yaitu secara biologis
sudah dapat menyelesaikan masa-masa kesedihan tetapi secara rohani
ia lumpuh sehingga ia terus-menerus masih mempertanyakan pertanyaan-
pertanyaan yang salah yang justru melemahkan imannya. Itulah yang
Paulus katakan dalam suratnya kepada jemaat di Tesalonika, yaitu
"jangan berduka-cita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai
pengharapan" (I Tes 4:13). Karena dukacita yang benar adalah "godly
sorrow"/duka-cita menurut kehendak Allah yang hasilnya pertobatan
dan kehidupan yang diperbaharui yang memuliakan Allah (II Kor
7:10).
Konselor harus dapat mengenali apa yang terjadi dalam kehidupan ibu
A setelah masa kesedihan berakhir. Konselor harus berani
mengkonfrontir dan membimbing ibu A jikalau ia terjebak dalam natur
dosanya dengan terus melayani perasaan dan pengalaman eksistensial
yang semata-mata subjektif memuaskan keinginan nalurinya sendiri.
Ibu A harus belajar mengenakan perasaan dan fikiran Kristus (Filipi
2:5).
Menyingkapkan kebenaran yang memerdekakan dari dosa (Yoh 8:32).
Memahami pergumulan dari klien melalui listening, acceptance,
empathy, dan understanding merupakan hal yang sangat penting, tetapi
ini belum cukup, karena pemahaman tanpa kebenaran Allah yang
memerdekakan justru seringkali menjadi pemicu berkembangnya dosa
dalam hidup klien tersebut. Pemahaman harus disertai dengan
pengenalan akan prinsip-prinsip kebenaran firman Tuhan, yang dalam
konteks kasus diatas antara lain:
Hubungan suami-istri hanya ada dalam kehidupan dibumi dan kematian
mengakhiri hubungan tersebut. Jawaban Tuhan atas pertanyaan orang-
orang Saduki (Matius 22:29-30) menyingkapkan realita bahwa didalam
kerajaan surga tidak ada laki-laki maupun perempuan. Setiap orang
percaya yang mati akan dibangkitkan dengan tubuh yang baru seperti
malaikat dimana tubuh darah daging tidak ikut mewarisi kekekalan (I
Kor 15:50). Pengenalan didalam kerajaan surga bukanlah pengenalan
otak dengan memorinya melainkan pengenalan rohani. Sehingga manusia
tidak lagi membawa kenangan masa lampau baik yang positif maupun
yang negatif dan tidak lagi membutuhkan ikatan-ikatan seperti suami-
istri atau orang-tua dan anak. Kebahagiaan didalam kerajaan surga
adalah kebahagiaan yang sempurna sehingga manusia tidak lagi
membutuhkan kebahagiaan sementara yang penuh dengan cacat-cela
seperti yang dialami dalam kehidupan dibumi ini.
Ibu A harus mengerti bahwa tubuh dan wajah suami yang dikenalnya
tidak akan ada lagi didalam kerajaan surga. Tubuh dan wajah suaminya
hanyalah wadah atau kostum, dan kepribadian suaminya hanyalah pola-
pola kejiwaan dalam kehidupan yang dapat dipakai oleh rohnya untuk
memanifestasikan dirinya. Si aku yang sejati bukanlah tubuh (dengan
otak dan pola-pola neurons yang menentukan cara kerjanya) dan juga
bukan jiwa atau kepribadian yang cuma merupakan manifestasi struktur
kehidupannya. Si aku yang sejati adalah roh dari individu tersebut,
dan roh itu kekal adanya karena mempunyai permulaan tetapi tidak
mempunyai akhiran. Roh manusia tidak mengenal jenis kelamin dan
tidak pernah menjadi tua, sehingga roh yang ada dalam tubuh yang
masih belum berbentuk manusiapun sudah dapat berkomunikasi dengan
Roh Allah dan diselamatkan (Mazm 139:16, Yer 1:5). Tubuh, wajah, dan
kepribadian yang terakhir dari suami ibu A bukanlah identitasnya
yang akan dibawa kedalam kekekalan. Bahkan tidak ada identitas
pribadi dari manusia manapun, entah bayi yang mati dalam kandungan
atau orang tua yang tubuhnya digerogoti penyakit, yang akan dibawa
kedalam kekekalan, karena hanya roh manusia yang kekal/immortal
adanya.
Jadi bagi ibu A, arti dari menanti saat untuk bertemu kembali dengan
suami, bukanlah menanti untuk mengulang atau melanjutkan hubungan
dalam ikatan suami-istri. Penantian adalah penantian orang percaya
yang didalam iman ingin bersekutu dalam kesempurnaan kebahagiaan
orang-orang percaya dihadapan hadiratNya. Oleh sebab itu, konseling
adalah menyadarkan ibu A supaya dapat menanggalkan cara berfikir
manusiawi dan mengenakan cara berfikir yang sesuai dengan iman
kristen.