Artikel berikut ini membahas tentang lima fase (langkah-langkah)
yang pasti akan dihadapi oleh orang yang mengalami kedukaan atau
"Grief" apapun, dan khususnya oleh orang yang sedang menghadapi
kematian. Fase-fase tersebut biasa disebut: DABDA (Denial, Anger,
Bargaining, Depression, Acceptance). Dengan mengetahui fase-fase
ini, konselor dan konsele akan lebih mudah memahami keadaannya dan
bisa saling membantu dalam melewati fase-fase ini.
LIMA FASE DALAM MENGHADAPI KEMATIAN
Beberapa tahun yang lalu sekelompok mahasiswa teologi mengadakan
pertemuan dengan dokter-dokter jiwa dan menanyakan,
"Bagaimana reaksi orang dalam menghadapi kematian?"
Untuk mendapatkan jawab atas pertanyaan tersebut, mereka kemudian
mewawancarai pasien-pasien yang berpenyakit parah dan juga keluarga
mereka. Kemudian disimpulkan adanya beberapa fase yang biasanya
dilalui orang dalam menghadapi kematian.
DENIAL -- Fase Penyangkalan dan Pengasingan Diri
Reaksi pertama setelah mendengar, bahwa penyakitnya diduga tidak
dapat disembuhkan lagi adalah, "Tidak, ini tidak mungkin terjadi
dengan saya." Penyangkalan ini merupakan mekanisme pertahanan
yang biasa ditemukan pada hampir setiap pasien pada saat pertama
mendengar berita mengejutkan tentang keadaan dirinya. Hampir tak
ada orang yang percaya, bahwa kematiannya sudah dekat, dan
mekanisme ini ternyata memang menolong mereka untuk dapat
mengatasi shock khususnya kalau peyangkalan ini periodik.
Normalnya, pasien itu akan memasuki masa-masa pergumulan antara
menyangkal dan menerima kenyataan, sampai ia dapat benar-benar
menerima kenyataan, bahwa kematian memang harus ia hadapi.
ANGER -- Fase Kemarahan
Jarang sekali ada pasien yang melakukan penyangkalan terus
menerus. Masanya tiba dimana ia mengakui, bahwa kematian memang
sudah dekat. Tetapi kesadaran ini seringkali disertai dengan
munculnya ketakutan dan kemarahan. "Mengapa ini terjadi dengan
diriku?", "Mengapa bukan mereka yang sudah tua, yang memang
hidupnya sudah tidak berguna lagi?" Kemarahan ini seringkali
diekspresikan dalam sikap rewel dan mencari-cari kesalahan pada
pelayanan di rumah sakit atau di rumah. Bahkan kadang-kadang
ditujukan pada orang-orang yang dikasihinya, dokter, pendeta,
maupun Tuhan. Seringkali anggota keluarga menjadi bingung dan
tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Umumnya mereka tidak
menyadari, bahwa tingkah laku pasien tidak masuk akal, meskipun
normal, sebagai ekspresi dari frustasi yang dialaminya.
Sebenarnya yang dibutuhkan pasien adalah pengertian, bukan
argumentasi-argumentasi dari orang-orang yang tersinggung oleh
karena kemarahannya.
BARGAINING -- Fase Tawar Menawar
Ini adalah fase di mana pasien akan mulai menawar untuk dapat
hidup sedikit lebih lama lagi atau dikurangi penderitaannya.
Mereka bisa menjanjikan macam-macam hal kepada Tuhan, "Tuhan,
kalau Engkau menyatakan kasih-Mu, dan keajaiban kesembuhan-Mu,
maka aku akan mempersembahkan seluruh hidupku untuk melayaniMu."
DEPRESSION -- Fase Depresi
Setelah ternyata penyakitnya makin parah, tibalah fase depresi.
Penderita merasa putus asa melihat masa depannya yang tanpa
harapan. Sebagai orang percaya memang mungkin dia mengerti adanya
tempat dan keadaan yang jauh lebih baik yang telah Tuhan sediakan
di surga. Namun, meskipun demikian perasaan putus asa masih
akan dialami.
ACCEPTANCE -- Fase Menerima
Tidak semua pasien dapat terus menerus bertahan menolak kenyataan
yang ia alami. Pada umumnya, setelah jangka waktu tertentu mereka
akan dapat menerima kenyataan, bahwa kematian sudah dekat,
sehingga mereka mulai kehilangan kegairahan untuk berkomunikasi
dan tidak tertarik lagi dengan berita dan persoalan-persoalan di
sekitarnya. Pasien-pasien seperti ini biasanya membosankan dan
mereka seringkali dilupakan oleh teman-teman dan keluarganya,
padahal kebutuhan untuk selalu dekat dengan keluarga pada saat-
saat terakhir justru menjadi sangat besar.
Memang terdapat banyak perbedaan pada setiap individu dalam
menghadapi realita kematian. Kelima fase di atas mungkin tidak
terlihat jelas pada setiap penderita, apalagi jika masa penderitaan
itu singkat. [Red: Fase-fase itu pasti terjadi secara berurutan,
bahkan semua fase ini akan sering diulang lagi seperti suatu spiral/
siklus/lingkaran yang terus maju setiap kali]. Perbedaan kebudayaan,
keluarga, bahkan kepribadian biasanya menghasilkan perbedaan
kecepatan dan cara menghadapi kematian, tetapi proses/fase masih
sama. Meskipun demikian, semua orang mempunyai persamaan, yaitu
bahwa mereka semua pasti mengharapkan akan ada kesembuhan; begitu
pengharapan akan kesembuhan itu lenyap, kematian menjadi semakin
dekat. Orang-orang Kristen yang benar-benar percaya, bahwa
meninggalkan tubuh jasmani ini berarti hidup bersama dengan Tuhan
(2Korintus 5:6-8), tentulah mempunyai cara menghadapi kematian yang
berbeda dengan mereka yang tidak beriman.