Sikap Mengharap yang Berlebih Atas Prestasi Sekolah Anak

Diringkas oleh: Sri Setyawati

Bila kita berbicara mengenai prestasi sekolah anak, tidaklah semudah yang kita bayangkan. Untuk itu, sebaiknya kita jangan terlampau cepat mengatakan bahwa anak kita adalah anak yang kurang mampu mengikuti pelajaran atau anak bodoh, jika anak kita menampilkan prestasi yang buruk di sekolah. Banyak faktor yang memengaruhi prestasi sekolah anak. Faktor-faktor tersebut bisa berasal dari diri anak sendiri atau bisa juga dari luar diri anak. Faktor dari diri anak misalnya kecerdasan, kepribadian, dan motivasi/hasrat untuk berprestasi. Sementara faktor dari luar meliputi lingkungan sekolah (guru, teman, situasi belajar), rumah (hubungan anak dengan orang tua dan saudara), dan masyarakat. Namun, di antara faktor-faktor tersebut, orang tua menempati peranan yang terbesar dalam banyak hal. Orang tua adalah tokoh penting dalam kehidupan seorang anak. Jadi, tidaklah mengherankan apabila orang tua memberikan pengaruh yang luas terhadap diri anak, terutama dalam perkembangan kepribadian anak. Sikap orang tua, corak hubungan orang tua-anak dan minat, serta perhatian orang tua terhadap sekolah, bisa memengaruhi prestasi anak.

Di tengah-tengah masyarakat, kita bisa menemukan ada beberapa sikap orang tua yang mendukung/mendorong anak untuk berprestasi. Akan tetapi, tidak jarang pula kita melihat sikap orang tua yang justru menghambat anak untuk menampilkan prestasi sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Salah satu di antaranya adalah sikap orang tua yang mengharap berlebih pada anaknya.

Sikap Mengharap yang Berlebih dari Orang Tua

Dalam kehidupan keluarga, kehadiran orang tua yaitu ayah dan ibu sangatlah besar artinya bagi perkembangan kepribadian seorang anak. Namun, kehadiran ayah dan ibu saja belumlah cukup. Bagi perkembangan kepribadian seorang anak, yang lebih penting adalah bagaimana corak hubungan orang tua-anak dan bagaimana hubungan emosional di antara mereka. Hal inilah yang sangat berpengaruh bagi perkembangan kepribadian si anak.

Pada dasarnya, hubungan orang tua-anak merupakan hubungan timbal-balik. Dengan demikian, untuk menciptakan hubungan yang memuaskan bagi kedua belah pihak (orang tua-anak), maka peranan orang tua maupun anak sangatlah besar. Hubungan yang memuaskan orang tua maupun anak adalah hubungan yang ditandai dengan adanya saling percaya, saling mengerti, dan saling menerima.

Orang tua memiliki masa lalu dan faktor-faktor eksternal yang memengaruhi kepribadiannya. Faktor-faktor seperti pola asuh orang tua mereka, nilai-nilai yang dianut oleh orang tua, tipe kepribadian orang tua, kehidupan perkawinan orang tua, dan alasan orang tua memunyai anak, sering kali memengaruhi macam-macam sikap orang tua. Salah satu di antaranya adalah sikap orang tua yang mengharap berlebih.

Menurut Elizabeth B. Hurlock, tidak jarang orang tua dalam mengasuh atau mendidik anak-anaknya, sangat dipengaruhi oleh keinginan atau ambisi dari orang tua itu sendiri tanpa melihat kemampuan anak. Sikap yang demikianlah yang dikatakan sebagai sikap mengharap yang berlebih dari orang tua terhadap anaknya. Contoh: Pada waktu anak masih kecil, biasanya orang tua mengharapkan anaknya dapat "berdiri sendiri". Oleh karena itu, ia melatih anaknya agar dapat "berdiri sendiri", tanpa memedulikan apakah anaknya memang mampu "berdiri sendiri". Setelah anak bertambah besar dan mulai bersekolah, orang tua berharap anaknya berprestasi.

Pada awalnya, anak mungkin akan berusaha memenuhi harapan orang tuanya. Akan tetapi, lambat-laun bila apa yang menjadi harapan orang tuanya tersebut tidak kunjung terjangkau olehnya, hal ini dapat membuat anak merasa bahwa harapan-harapan yang ditujukan pada dirinya terlampau tinggi. Seolah anak merasa dirinya dituntut terlampau banyak, karena yang diharapkan orang tuanya berada di luar batas kemampuan yang dimilikinya. Jadi, tidaklah mengherankan bila lambat-laun motivasi ataupun minat anak terhadap sekolah jadi berkurang atau bahkan hilang. Sekolah dapat dianggap sebagai beban bagi anak, yang membuatnya menemui berbagai kesulitan yang kurang atau tak dapat diatasinya.

Dengan demikian, tanpa disadari orang tua telah menanamkan situasi belajar yang kurang menyenangkan bagi anak. Situasi yang kurang menyenangkan ini biasanya cenderung dihindari oleh anak. Jadi, bukanlah hal yang mustahil bila kegagalan anak di sekolah merupakan suatu reaksi menghindar dari anak terhadap situasi yang dirasakan kurang menyenangkan tersebut. Di samping berkurangnya motivasi untuk belajar, akibat yang dapat timbul adalah adanya ketegangan atau kecemasan dalam diri anak. Menghadapi kenyataan bahwa ia tidak mampu memenuhi harapan orang tuanya, maka dalam diri anak dapat timbul rasa cemas akan kehilangan kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya. Oleh karena itu, ia akan berupaya untuk memenuhi harapan-harapan tersebut. Jadi, sebenarnya usaha yang dilakukan anak hanyalah didasarkan atau didorong oleh rasa cemas dalam dirinya. Adanya kenyataan bahwa ia selalu gagal untuk mencapai yang diharapkan oleh orang tuanya, lambat-laun hal akan menimbulkan rasa rendah diri pada anak. Anak akan merasa dirinya bodoh, tidak mampu untuk menghasilkan sesuatu yang dapat menjadi kebanggaan orang tuanya. Oleh karena itu, ia acap kali diliputi oleh perasaan tidak berguna dan tidak berarti di mata orang tuanya sendiri. Dampak akhirnya, anak akan memunyai konsep diri yang kurang baik yang membawa anak pada keragu-raguan, kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri, dan ini akan berpengaruh pula terhadap prestasi sekolahnya.

Sikap orang tua yang berharap lebih juga bisa menjadi hambatan bagi perkembangan sosialisasi anak. Hal ini dapat dimengerti karena anak memunyai kesempatan yang kurang untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas lain. Dengan begitu, anak merasa canggung dalam bergaul dengan orang lain ataupun teman-teman sebayanya. Ia merasa terasing dari kawan-kawannya dan keadaan ini justru akan mengganggu prestasi belajarnya.

Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa sikap mengharap yang berlebih dari orang tua, jelas akan menimbulkan keadaan-keadaan yang tidak menguntungkan bagi anak , terutama dalam usahanya untuk mengejar prestasi di sekolah. Sikap orang tua yang demikian justru dapat menghambat prestasi belajar anak. Sungguh pun patut diakui bahwa setiap orang tua tentu memunyai iktikad/maksud yang baik bagi anak-anaknya. Bukanlah hal yang mustahil bila kadang-kadang sikap orang tua yang demikian, dilandasi oleh adanya rasa tanggung jawab yang besar dari orang tua terhadap masa depan anaknya. Banyak orang tua yang beranggapan bahwa bila anak tidak dilatih untuk mencapai prestasi sebaik mungkin, maka hal ini dapat membawa anak pada berbagai kesulitan setelah terjun ke masyarakat di kemudian hari. Maka dari itu, bila ditinjau dari sudut orang tua sikap yang berharap lebih mungkin tidak buruk. Namun, bagaimanapun juga hal ini kurang menempatkan anak pada tempat yang sebenarnya. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah bila kita meninjau kegagalan anak dari sudut anak itu sendiri, dari apa yang dirasakan oleh anak. Dengan melihatnya dari sudut pandang anak, berarti kita telah menempatkan anak pada proporsi yang sebenarnya, yaitu menghargai anak sebagai individu yang unik yang memiliki kemampuan dan minat.

Adanya keunikan dari masing-masing anak, akan memengaruhi seberapa jauh anak akan merasakan atau menganggap negatif sikap yang ditampilkan orang tuanya, dan hal ini akan menentukan prestasi di sekolahnya.

Dengan melihat uraian di atas, maka merupakan suatu tindakan yang bijaksana bila orang tua dalam mendidik anak-anaknya, mau meninjau kembali sikap yang ditampilkannya, terutama bila anak menemui kegagalan di sekolah. Dengan demikian, orang tua pun akan lebih menyadari bahwa kegagalan anak ini bukanlah semata-mata bersumber dari diri anak saja, melainkan masih banyak faktor lainnya yang ikut mendukung timbulnya reaksi tersebut, termasuk faktor orang tua sendiri.

Adanya pengertian yang baik dari pihak orang tua terhadap kemampuan ataupun minat anak, sedikit banyak merupakan sumbangan yang bernilai positif bagi anak dalam usahanya mengejar prestasi di sekolah. Anak di sini setidak-tidaknya memunyai kepercayaan terhadap dirinya sendiri yang besar, serta adanya perasaan dihargai oleh orang tuanya. Keadaan ini akan lebih mendorongnya dalam mengatasi berbagai kesulitan yang dihadapi di sekolah. Oleh karena keberadaan orang tua yang sangat berarti dalam kehidupan seorang anak, maka dukungan moril senantiasa diharapkan oleh anak dalam usahanya mengatasi berbagai kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.

Adanya hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak, yang mana keduanya bisa saling mengerti, ikut menciptakan suasana atau iklim emosional yang menyenangkan bagi anak. Suasana yang menyenangkan ini merupakan suatu kondisi yang ikut mendukung terciptanya suasana belajar yang menyenangkan pula, karena dalam keadaan yang demikian, anak terbebas dari segala macam ketegangan emosi. Dengan demikian, anak kemungkinan dapat lebih mengembangkan prestasi belajarnya selaras dengan batas-batas kemampuan yang dimilikinya.

Saran kepustakaan:

  1. Bakwin H., & Bakwin R.M., Behaviour Disorders In Children, W.B. Saunders Company, fourth edition 1972.

  2. Binter, Alfred R. & Frey, Sherman H., The Psychology of The Elementary School Child, Rand McNally & Company 1972.

  3. Cronbach, Lee. J., Educational Psychology, Harcourt Brace& World, Inc., seconded. 1963.

  4. Hurlock, Elizabeth B., Child Development, McGraw-Hill Kogakusha, Ltd, fifth ed. 1972.

  5. Lindgren, H.C., Educational Psychology In The Classroom, John Willey & Sons, Inc., New York 1972.

  6. Smart, Mollie S. & Smart, Russell C., School Age Children, Macmillan Publishing Co, Inc., 1978.

Diambil dan diringkas dari:

Judul buku : Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja
Judul asli artikel : Sikap Mengharap yang Berlebih dari Orang Tua dalam Hubungannya dengan Prestasi Sekolah Anak
Penulis : Dra. Linda Wahyuni
Penerbit : PT BPK Gunung Mulia, Jakarta 1995
Halaman : 139 -- 150