Suami yang Memimpin dan Istri yang Menolong (I)

Edisi C3I: e-Konsel 285 - Hubungan Suami-Istri

Ada banyak penyebab mengapa timbul masalah dalam pernikahan. Salah satunya adalah kegagalan suami dan istri berperan fungsi sesuai dengan desain yang telah ditetapkan Tuhan. Sebagaimana kita ketahui lewat Firman-Nya di Kejadian 2:18 dan Efesus 5:22-33, Tuhan menghendaki suami bertugas sebagai "kepala" yang memimpin istri dan istri sebagai "pendamping" yang menolong suami.

Sebagai kepala yang memimpin, suami diminta Tuhan untuk "mengasihi" istri. Sebagai pendamping yang menolong, istri diminta Tuhan untuk "tunduk" kepada suami. Sayangnya, tidak selalu suami dan istri berfungsi sesuai peran yang ditetapkan Tuhan. Alhasil muncullah masalah dalam pernikahan. Berikut kita akan melihat bagaimanakah seyogianya suami memimpin istri dalam kasih dan bagaimanakah selayaknya istri menolong suami dalam ketundukan.

Memimpin adalah mengarahkan:

  1. Menjadi "panutan" yang layak dicontoh. Sangatlah penting bagi suami untuk hidup "berintegritas", yakni apa yang dikatakan sama dengan apa yang dilakukan. Sudah tentu apa yang dikatakan dan dilakukan haruslah sesuai atau mendekati standar kehidupan sebagaimana ditetapkan firman Tuhan. Sewaktu istri melihat kehidupan suami yang berintegritas, tidak bisa tidak, ia pun tambah "menghormati" suami. Ketika hormat sudah bertumbuh, rasa "percaya" pun bertunas. Alhasil istri lebih cepat dan lebih mudah "mendengarkan" arahan suami. Itu sebabnya, manakala suami ingin berfungsi sebagai pemimpin yang dapat mengarahkan istri, terlebih dahulu ia mesti mendemonstrasikan kehidupan yang berintegritas.

  2. Mengedepankan kepentingan BERSAMA di atas kepentingan pribadi. Kita adalah makhluk yang "berkeinginan" dan berusaha untuk mewujudkan keinginan. Itu sebabnya, salah satu sumber gesekan dalam pernikahan adalah kegagalan kita "menyelaraskan" keinginan. Istri menghendaki berjalan ke arah kiri, sedang suami ingin mengambil jalan ke kanan. Untuk dapat mengarahkan istri, penting bagi suami menunjukkan kepada istri bahwa dalam pengambilan keputusan, ia telah berusaha sedapatnya untuk "memperhitungkan" keinginan istri. Singkat kata, suami baru dapat mengarahkan istri bila istri yakin bahwa suami berusaha memperjuangkan keinginannya pula. Jadi, bila suami ingin dapat mengarahkan istri, penting baginya untuk pertama-tama mengenali kebutuhan dan kondisi istri. Setelah mengetahui dengan jelas, berusahalah untuk mengikutsertakan faktor istri ke dalam perencanaan hidupnya.

  3. Dapat bersikap tegas di dalam "kebenaran", bukan kemarahan. Terlalu banyak suami yang bersikap tegas kepada istri bukan di dalam kebenaran melainkan di dalam kemarahan. Terlalu sering suami bersikap kasar kepada istri bukan karena kebenaran, melainkan karena ketidaksukaan belaka. Bila suami ingin mengarahkan istri, ia harus mengetahui apa yang benar dan apa yang menjadi kehendak Tuhan. Setelah itu, ia mesti menjadi orang pertama yang mengakui kesalahan atau kegagalannya hidup sesuai kehendak Tuhan. Bukan saja ia mengakuinya lewat perkataan, ia pun harus menunjukkannya lewat perbuatan yaitu ia terbuka untuk menerima teguran atau koreksi istri. Nah, di dalam keterbukaan dan kesediaannya menerima koreksi atau teguran istri, suami bersikap tegas di dalam kebenaran terhadap istri. Jika salah, beritahukanlah dan bila berdosa, tunjukkan dosanya. Namun, penting bagi suami untuk melakukannya dengan lemah lembut serta kerendahan hati, sebab ia pun manusia berdosa yang tidak luput dari kesalahan. Galatia 6:1 memberi panduan yang jelas kepada kita semua, "Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri supaya kamu jangan kena pencobaan."

  4. Membuktikan diri sebagai orang yang berhikmat di dalam hal-hal "kecil". Mustahil bagi suami untuk dapat memberi arahan kepada istri bila rekaman jejaknya sarat dengan kesalahan. Kadang-kadang inilah yang terjadi. Suami memaksakan kehendaknya kepada istri namun masalahnya adalah di masa lampau terlalu sering ia membuat kesalahan. Perhitungannya meleset dan perkiraannya keliru. Jadi, jika suami bersedia mengakui bahwa memang rekaman jejaknya tidaklah mendukung, janganlah tergesa-gesa mengeluarkan pendapat apalagi memaksakan kehendak. Sebaliknya, bermusyawarahlah dengan istri dan sedapatnya buatlah keputusan berdasarkan mufakat bersama.

Diambil dari:

Nama situs : TELAGA.org
Alamat URL : http://telaga.org/audio/
Judul transkrip : Suami yang Memimpin dan Istri yang Menolong I (T320A)
Penulis : Pdt. Dr. Paul Gunadi
Tanggal akses : 16 Januari 2012