Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Rasa Bersalah

Sebenarnya, rasa bersalah bukanlah gangguan jiwa; rasa bersalah adalah salah satu bahan yang menghasilkan gangguan jiwa. Dari rasa bersalah yang berlebihan muncullah masalah-masalah neurotik seperti gangguan obsesif-kompulsif, depresi, dan kecemasan. Mungkin bagi sebagian dari kita, rasa bersalah tidaklah sampai menciptakan gangguan neurotik tetapi bagi yang lainnya, rasa bersalah cukup mengganggu kehidupan kita. Kita merasa lumpuh, tidak berani bertindak, takut keliru, dan akhirnya tidak memaksimalkan potensi diri. Penyandang rasa bersalah yang berlebihan identik dengan penyandang cacat; keduanya terbatasi dalam pengaktualisasian diri.

Rasa bersalah merupakan suara tuduhan dari dalam diri kita atas kegagalan menjadi atau melakukan sesuatu. Rasa bersalah bisa dimunculkan dari luar akibat tudingan dari telunjuk orang lain maupun dari dalam bahwa kita gagal mencapai standar yang kita tetapkan untuk diri sendiri. Bak cemeti, rasa bersalah mencambuk kita sebagai hukuman atas kekurangan, kekeliruan, atau pelanggaran kita.

Rasa bersalah perlu dibedakan dari rasa malu. Rasa malu merupakan reaksi menyembunyikan diri dari dan akibat dari penilaian orang atas kekurangan, kekeliruan, atau pelanggaran kita. Rasa malu tidak harus bermuatan rasa bersalah dan rasa bersalah tidak harus berisikan rasa malu. Sebagai contoh, kita malu karena hasil ujian kita jauh di bawah nilai rata-rata kelas. Dalam contoh ini kita tidak harus merasa bersalah akibat nilai kita yang rendah itu. Yang membuat kita malu ialah anggapan bahwa teman-teman memandang rendah diri kita, anggapan yang muncul dari logika sederhana bahwa yang tinggi selalu meremehkan yang rendah.

Sebaliknya, kita mungkin saja merasa bersalah karena telah menyogok seorang petugas namun kita tidak merasa malu sedikit pun. Kita beranggapan perbuatan menyogok merupakan perbuatan yang umum dilakukan oleh banyak orang jadi tidak perlu merasa malu. Di sini kita dapat menyimpulkan bahwa rasa malu dan rasa bersalah tidak harus saling terkait. Bahkan dalam kasus tertentu, rasa bersalah dan rasa malu yang seharusnya ada, justru tidak muncul. Misalnya, sekelompok massa membunuh dan membakar seorang pencuri tanpa merasa bersalah atau pun merasa malu dengan perbuatan "heroiknya."

Rasa bersalah bukanlah sesuatu yang salah sehingga harus dilenyapkan dengan begitu saja. Ada tempatnya untuk rasa bersalah yang sejati yakni tatkala kita berdosa, baik terhadap Tuhan maupun sesama kita. Namun, kadang kita terbelit oleh rasa bersalah semu, yaitu rasa bersalah karena kita tidak berhasil mencapai target yang telah kita tetapkan untuk diri sendiri dan target ini tidak berkaitan dengan dosa, baik terhadap Tuhan maupun sesama kita.

Saya kira, satu hal kita menyayangkan kegagalan kita mencapai sesuatu yang kita targetkan dan hal yang lain bila kita menyalah-nyalahkan diri. Rasa bersalah yang berlebihan seperti ini justru melumpuhkan motivasi kita untuk mengejar target. Rasa bersalah berorientasi ke belakang dan menyoroti aspek "mengapa tidak" yang tidak dapat terjawab atau diubah lagi. Rasa bersalah yang tidak pada tempatnya menguras energi yang sebenarnya bisa kita gunakan untuk melangkah maju dan membangun ulang.

Sebagaimana telah saya singgung di atas, rasa bersalah pada dasarnya adalah bentuk penghukuman yang kita jatuhkan pada diri sendiri. Rasa bersalah merupakan perasaan yang menyiksa dan dengan tujuan itulah kita terus menerus menghujamkan kalbu kita dengan rasa bersalah. Masalahnya ialah, kita tidak tahu kapan kita harus berhenti dan berkata, "cukup!"

Baik Petrus maupun Yudas telah melakukan kesalahan yang berat. Petrus menyangkal mengenal Tuhan Yesus dan Yudas mengkhianati Tuhan. Sebenarnya keduanya melakukan pelanggaran yang identik dan terkait. Sewaktu Petrus menyangkal mengenal Tuhan sesungguhnya ia telah mengkhianati Tuhan. Sejajar dengan itu, tatkala Yudas mengkhianati Tuhan Yesus, sebenarnya ia menyangkal ikatan batiniahnya dengan Tuhan. Petrus merasa bersalah dan menangis tetapi ia tetap berada dalam lingkup Tuhan, dalam hal ini, sesama murid. Yudas merasa bersalah; Alkitab tidak mencatat ia menangis, ia pergi menggantung dirinya. Petrus melihat ke depan masih ada hidup dengan Tuhan, sedangkan Yudas melihat ke belakang tidak ada lagi hidup dengan Tuhan.

Rasa bersalah memaksa kita menoleh ke belakang dan kadang itu perlu kita lakukan. Namun, setelahnya, kita harus kembali menghadap ke muka masih ada hidup dengan Tuhan! Orang yang hidup sekarang di bawah penghakiman masa lalu adalah orang yang dirantai. Orang yang hidup sekarang di bawah janji masa depan adalah orang yang merdeka. Tuhan sendiri pernah berjanji, "...dan kamu akan mengetahui kebenaran dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu." (Yoh 8:32). Jadi, silahkan menengok ke belakang, asal tidak berjalan ke belakang.

Sumber
Halaman: 
3 - 4
Judul Artikel: 
Parakaleo, April Juni 2000, Vol. VII, No. 2
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRII
Kota: 
Jakarta
Editor: 
Paul Gunadi Ph.D., Yakub B.Susabda Ph.D., Esther Susabda Ph.D.
Tahun: 
2000

Komentar