Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Kelenturan dalam Perkawinan

Konflik tidak harus dihindari dalam sebuah perkawinan. Konflik itu perlu dan asyik, bahkan membuat pernikahan lebih dinamis, asal kita tahu mengelolanya dengan baik.

Jika konflik tidak ditangani dengan baik, dapat membuat perkawinan itu sakit. Sebaliknya, jika konflik bisa dikelola, maka perkawinan bisa bertumbuh dan sehat.

Isu konflik pasangan suami istri (pasutri) di ruang konseling paling banyak bergelut dengan persoalan uang, komunikasi, seks, pekerjaan, anak-anak, keluarga asal, teman, dan karier. Perbedaan persepsi, keterampilan, dan kebiasaan di pelbagai isu itu bisa menjadi pemicu konflik. Karena itu, salah satu sifat yang diperlukan untuk mengelola perbedaan itu adalah kelenturan.

Ciri-ciri Kelenturan

Kelenturan adalah sifat pribadi suami atau istri yang rela beradaptasi (menyesuaikan) dengan sifat pasangan. Kelenturan adalah kecakapan pribadi dalam menyesuaikan diri dengan situasi (pribadi) pasangan yang tidak Anda harapkan. Kelenturan adalah salah satu wujud dari empati.

Salah satu ciri lentur adalah mudah memahami pasangan dan tidak ngotot mengubah pasangan. Sebaliknya, Anda sendiri rela berubah saat pasangan tidak berubah -- menerima pasangan yang tidak berubah. Ada beberapa sifat dasar pasangan yang sulit berubah. Misalnya pasangan Anda memang seorang yang introver, tidak banyak bicara; maka belajarlah menerima sifat itu sambil menjadikan diri Anda menjadi pribadi yang enak diajak bicara oleh pasangan.

Ciri lainnya, seorang yang lentur bersifat pemaaf. Dia tidak mudah tersinggung dan kalau pun menjadi marah tidak suka menyimpan kesalahan pasangan. Ia lebih suka membicarakannya. Salah satu sifat utama Kasih adalah tidak menyimpan kesalahan.

Kelenturan dan Harga Diri

Masalahnya tidak semua orang memiliki sifat ini, sebab ini merupakan hasil dari pribadi yang memiliki harga diri (self-esteem) yang baik. Jika Anda seorang yang minder, akan sulit mengajak pasangan terbuka membicarakannya. Meski Anda merasa marah, Anda lebih suka menyimpan, menekan, atau menyangkali ada masalah dengan pasangan. Anda khawatir, jangan-jangan jika membicarakannya membuat pasangan Anda lebih marah.

Kelenturan juga didukung oleh seberapa jauh Anda mengenali pasangan. Makin Anda kenal pasangan dengan baik, maka ada pengertian yang mendalam terhadap dia, terutama saat konflik dan perbedaan pendapat terjadi. Karena itu, salah satu kunci mengelola konflik adalah mengenali pasangan dengan baik, termasuk latar belakang, kebiasaan, difat, hobi, cara berpikir hingga pohon keluarga asal. Setelah kenal, Anda menerima pasangan "apa adanya" bukan "ada apanya".

Keterampilan Dasar Mengelola Konflik

Selain kelenturan, untuk sebuah perkawinan yang sehat dibutuhkan keterampilan dasar mengelola konflik, di antaranya:

  1. Menunjukkan penghargaan satu sama lain.

    Meskipun sedang ada perbedaan pendapat, sepakat saling menghargai. Belajar memahami pasangan dari sudut pandangan pasangan (berempati). Tahu membedakan antara masalah pribadi dengan konflik atau kekurangan pasangan.

  2. Sepakatlah untuk menetapkan isu konflik.

    Konflik yang sehat pakai tema atau judul. Pasutri mengidentifikasi apa masalah (konflik) sesungguhnya. Jika tidak, konflik bisa melebar. Masing-masing tergoda menyinggung isu lain saat Anda tersudutkan. Misalnya, isunya istri membeli barang mahal tetapi lupa minta izin suaminya. Sang suami tidak boleh menyerang istri dengan mengatakan, "Kamu sama saja dengan ibumu, boros!" Itu sudah keluar dari judul (isu).

  3. Temukan wilayah kesepakatan.

    Jika isu konflik ditemukan, maka bentuklah kesepakatan untuk memecahkan konflik. Masing-masing menyediakan diri untuk saling menyesuaikan. Misalnya, suami menginginkan anggaran untuk jajan anak dalam sehari Rp. 10.000,00 tetapi sang istri berpendapat uang jajan anak cukup Rp. 5.000,00. Mungkin masing-masing mencoba mengalah dan mencari jalan tengah, menjadi Rp. 6.000,00 atau Rp. 7.500,00. Jangan merasa pendapat pribadi paling benar. Salah satu sifat kasih adalah tidak sombong.

  4. Berusaha berpartisipasi dalam membuat suatu keputusan.

    Jika suami dan istri ikut memberi respons atau saran saat keputusan diambil, keduanya bertanggung jawab penuh atas keputusan yang diambil. Hal ini mencegah salah satu dari pasutri menyalahkan atau menyerang pasangan jika keputusan tadi ternyata bermasalah.

    Jadi, kalau pasangan Anda mengatakan "terserah" saat mengambil keputusan, jangan tergesa-gesa memutuskannya. Sabarlah. Jika Anda suami, berilah istri Anda kesempatan memberi ide/saran. Jika Anda istri, berilah kesempatan bagi suami untuk memutuskan. Ada kalanya kalian sepakat memutuskan bersama-sama.

Sumber
Halaman: 
0 -- 3
Nomor Edisi: 
Griya Konseling Pelikan -- Solo, Edisi 2/VIII/11
Kota: 
Solo

Komentar